• [Terbaru] Menuju Titik Tertinggi Pulau Jawa (Part 1): Ide Gila Modal Nekat Klik Disini

Thursday 17 November 2011

Sekadar Penonton di Negeri Sendiri

Daerahku memang tidak seindah dulu lagi, dulunya disana terbentang lapang ladang yang hijau, sebuah danau buatan yang kecoklatan karena dirambah kerbau, serta teriakan anak-anak SD yang bolos melewati tikungan ladang menuju pepohonan mangga yang rindang. Sebuah pinggiran kota yang hanya dikenang ketika musim haji tiba. Semua media lokal tidak henti-henti bercerita tentang perkembangan musim haji, tentang persiapan haji dan keselamatan para calon haji, dan memang telah semestinya, karena disanalah para calon haji diasramakan sebelum kemudian diberangkatkan menuju hajatnya.

Di pinggir kota itu dulu tempat saya bersekolah dengan anak-anak peladang yang menggantungkan harapan pada ladang-ladang sayur mereka. Di pinggiran kotaku itu kita layak mendapatkan sesuatu yang gratis sebab tinggal memetik di ladang tanpa cercaan dan tanpa tetek bengek uang dan semacamnya.

Di pinggiran kota yang masih masuk wilayah Kabupaten Maros provinsi Sulawesi Selatan itu terdapat sebuah Sekolah dasar yang diberi nama SD 15 Pao-Pao, Pao dalam bahasa Indonesia sendiri berarti “mangga”. Meski tidak heran memang, karena dulunya daerahku itu terkenal dengan pepohonan mangganya. Dulu disana juga dapat dijumpai kebun jambu mete yang amat luas, kebun kapuk, kebun jagung, kebun ubi dan jeruk bali yang dapat dipandangi ketika kita menuju daerah Laikang.

Di SD yang bisa dikatakan memang bukan unggulan, adalah tempatku belajar bersama anak-anak peladang itu. Terkadang saya malu dengan diri sendiri melihat tingginya semangat belajar mereka ketimbang semangat saya sendiri. Mereka selalu masuk tiga besar dalam perolehan nilai rapor di kelas, bandingkan dengan saya sendiri yang sudah sangat bangga walaupun hanya mendapat peringkat ketujuh.

Namun entah senang atau kecewa, ladang penduduk pinggiran kotaku itu kini telah menjadi bandara. Bandara megah yang kini menjadi kebanggan dan ikon Kota Makassar disisi lain telah merenggut pengharapan satu-satunya masyarakat daerahku. Kebun jambu mete, kebun kapuk, kebun jagung, kebun ubi dan jeruk bali sudah mulai sulit dijumpai. Namun, lihatlah kemudian mantan peladang di pinggir kotaku itu, mereka sesekali terlihat menapakkan tikar rotan diatas rerumputan dan memandangi pesawat yang hilir mudik sembari melahap sesuatu, seraya berujar “kita hanya mampu melihat saja entah kapan dapat menaiki benda terbang itu?“ dan sesekali mengeluh jika suara bising pesawat sangat melelahkan telinga mereka.

Ladang subur para peladang itu kini menjadi hamparan baja yang dilapisi beton. Dana ganti rugi dari pemerintah dirasa dan memang tidak cukup apalagi ditambah kurangnya perhatian pemerintah dalam memberikan alternatif mata pencaharian, lalu untuk apa semua pembangunan ini ketika hasil yang diperoleh hanya memperparah kehidupan mereka ?, bukankah pembangunan bertujuan untuk kepuasan semua pihak ?, lalu dimana mereka akan berdiri ketika harus terjajah ditanah sendiri ?. Perlawanan terhadap putusan pemerintahpun sangat sulit mereka lakukan. Pemerintah seakan-akan tutup mata dan tutup telinga bagi kelanjutan hidup mereka.

Lapangan bandara yang jaraknya hanya kurang lebih dua meter dari halaman belakang sekolahku benar-benar menggangu aktifitas belajar disana, suara pesawat mendarat maupun lepas landas sangat bising terdengar hingga akhirnya dianggap biasa dan sesekali dijadikan bahan tertawaan para murid. Dan memang seperti itulah salah satu namun bukan satu-satunya imbas pembangunan terhadap pendidikan di daerahku.

Ini hanyalah sedikit dari puluhan bahkan ratusan juta penduduk Indonesia yang dijebak dalam ketidakbecusan negara memberikan pelayanannya. Hampir setiap hari entah di media cetak maupun elektronik keberadaan masyarakat kecil selalu bermasalah atau memang sengaja dipermasalahkan. Atas nama keindahan dan kerapihan kota, tanah, ladang serta lapak-lapak mereka yang dijadikan sebagai tempat mencari sesuap nasi digusur tanpa mengenal kompromi. Namun disaat kita menolak dan melawan semua ini kita dengan mudah dapat dituding melawan kepentingan umum atau berkesadaran rendah akan kemajuan kota (sebuah situasi yang dilematis).

Indonesia, negeri yang kita tempati ini hanya merupakan tempat pertarungan masyarakat dalam strata sosial yang sebagian besar masyarakat berada pada posisi lemah. Masyarakat hanya sedang menanti "belas kasihan" dari mereka yang memiliki kekuatan dan wewenang. Semua jeritan perlawanan sebagai “pembelaandiri” terkadang dibungkam oleh mesin-mesin penggilas bernama pemerintah. Keterlaluan !

Masih sempat saya ingat berita beberapa bulan yang lalu, penggusuran lapak-lapak yang telah didiami berpuluh-puluh tahun disalah satu daerah di jawa sempat diwarnai aksi “bugil” oleh seorang ibu korban penggusuran. Entah memang ini jalan terakhir atau memang jalan satu-satunya yang dilakukan sebagai upaya agar pemerintah mau mengurungkan niatnya, meskipun akhirnya situasi bicara lain karena penggusuran masih tetap saja dilanjutkan.

Miris rasanya, orang-orang yang dimasa kampanye dengan senyum semringah sembari berjanji akan mengedepankan hak-hak rakyat kecil, kini hanya tergerus arus menjadi manusia-manusia opurtunis di panggung politik negeri ini. Masyarakat kecil hanya terdiam dan terkubur dalam ironi yang diciptakan bukan oleh mereka namun oleh para pejabat-pejabat pemerintah dengan perut “buncit” nya itu. Jerit dan tangis masyarakat kecil yang tertindas atas kedigdayaan pemerintah selalu menjadi persembahan buat kesenangan mereka-mereka yang memiliki ekonomi tingkat atas. Keputusan-keputusan pemerintah banyak dipengaruhi oleh keputusan-keputusan para kaum elit, sehingga tujuan dan arah pembangunan hanya untuk kepuasan mereka saja. Maka pertanyaannya kemudian, “masihkah kita membutuhkan pemerintah yang seperti ini?”.
Tokoh founding father’s kita, Soekarno pernah mengatakan :

“Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”

Ucapan presiden pertama Indonesia ini memang kini telah terbukti, perjuangan rakyat miskin melawan penjajah jenis baru telah menguras banyak darah dan air mata. Saya tidak habis pikir, mengapa pemerintah kita bisa sampai seperti ini, namun yang jelasnya kita harus bertindak dan berani mengatakan tidak terhadap kebijakan pemerintah yang berani merampas masa depan kita.

Terkadang ketika kita berunjuk rasa menolak pembangunan yang merugikan, kita dapat dengan mudahnya di cap bebal karena tidak menginginkan kemajuan kota. Namun yang jelas, kami bukan antipemerintah. Kami hanyalah membela masyarakat-masyarakat korban “kambing hitam” tempat tumpahan semua kesalahan. Jikapun pembangunan-pembangunan itu memang perlu maka pemerintah hendaknya menyediakan lapangan kerja yang layak bagi mereka yang tertindas haknya.

Saya dengan ini menolak keras semua tindak sewenang-wenang pemerintah yang nampaknya mengoleksi pundi-pundi ketidakadilan tanpa belas kasihan terhadap rakyat kecil. Pemerintah, sebagaimana termaktub dalam pancasila, sila ke 5 hendaknya memberikan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, bukan malah menambah penderitaan masyarakat kecil saja demi kesenangan para elit dan elit politik.

Masihkah ini Indonesiaku?, Inilah pertanyaan besar melihat tindak tanduk penggusuran seenaknya oleh pemerintah atas tanah-tanah dan tempat-tempat usaha rakyat kecil. Setelah 66 tahun Indonesia merdeka, mereka masih terjajah !.

Saya melihat, pembangunan gedung-gedung tinggi, hotel-hotel berbintang, privatisasi lahan dengan segala kemegahannya sepertinya hanya disediakan bagi mereka yang memiliki ekonomi atas. Mereka-mereka yang rendah ekonominya hanya mendapat bagian untuk melihat saja dari luar (sebuah pemandangan yang ironis). Para elit itu tidak tahu atau sekedar pura-pura tidak tahu, dibalik semua kemegahan itu berapa banyak jumlah anak-anak yang kehilangan masa depannya sebab tidak bekerjanya orang tua mereka karena lahan pertaniannya dijual bahkan ada yang direbut paksa. Para elit itupun tidak menyadari atau pura-pura tidak menyadari berapa banyak jumlah isak tangis dibalik pembangunan propertinya itu. Jika hal ini masih saja berlangsung, maka bukan sesuatu yang keliru ketika kita menisbikan rakyat kecil, hanya “sekadar penonton di negeri sendiri”.


Ditulis Dalam Rangkah Kompetisi Esai Mahasiswa (KEM) AMI 2011
Oleh : Sudarwin